Jumat, 11 Mei 2012

Kakak, Ini Murah ......

Begitulah sapaan pramuniaga yang saya dengar di pasar malam di dekat lokasi pasar Ben Tanh di Ho Chi Minh City pada Desember tahun lalu, sempat kaget juga saya saat itu. Namun kejadian seperti itu bukan saya alami di HCMC - Vietnam saja, tetapi juga di  beberapa  tempat penjualan cenderamata di Bangkok, di Beijing bahkan di mall kecil di Tianjin juga banyak sekali pramuniaga yang menawarkan dagangan mereka dalam bahasa Indonesia.

Hal ini belum termasuk di Makkah, Madinah, dimana pada saat musim haji maupun umrah hampir seluruh pedagang-pedagang di sana  sangat fasih menawarkan dagangannya dalam bahasa Indonesia.
"Siti Rahmah, murah ... murah." merupakan hal yang lazim kita dengar di tanah Arab tersebut.


Bahkan pada saat kunjungan saya di Beijing, beberapa pusat penjualan obat-obatan herbal dan toko penjualan teh China  disana sampai menyediakan pramuniaga khusus yang  mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia agar dapat menjelaskan khasiat  obat-obat herbal dan teh China yang dijualnya ,   bahkan di salah satu pusat refleksi sekalian menjual obat-obatan China sampai mengkontrak seorang ahli terapis dari Bandung selama  tiga tahun khusus untuk menghandle wisatawan yang berasal dari Indonesia.

Dalam perjalanan wisata ke luar negeri terutama negara/kota yang baru pertama kali kita kunjungi, membeli oleh-oleh khas negara/kota tersebut sudah merupakan seperti suatu kewajiban yang tidak tertulis. Kemampuan berbahasa Indonesia  pramuniaga meskipun dengan kosa kata yang terbatas tentunya sangat membantu wisatawan Indonesia yang hanya punya modal pas-pasan dalam berbahasa Inggris, seperti saya juga ... hehehehe. 

Namun yang mengusik perhatian saya adalah dari begitu banyaknya bangsa-bangsa di dunia ini mengapa bahasa Indonesia menjadi bahasa yang terpilih?

Setelah saya cermati, mungkin ini berkaitan dengan budaya kekeluargaan yang sangat erat bagi masyarakat Indonesia dan   budaya oleh-oleh. Yah ... budaya oleh-oleh sudah tidak dapat dipisahkan lagi masyarakat kita yang ingin berpergian untuk tujuan wisata baik hanya sekedar di dalam negeri apalagi kalau ke luar negeri. Tidak jarang kita malah dititipi untuk membeli barang-barang dari negara/kota yang akan kita kunjungi.

Dari pengamatan saya sekilas ketika mengikuti tour di luar negeri,  wisatawan Indonesia memang lebih tertarik untuk belanja daripada melihat obyek wisatanya. Daftar sanak saudara, kerabat, sahabat, tetangga yang harus diberikan oleh-oleh juga biasanya demikian panjangnya.  Ada  orangtua, suami/istri, anak-anak, tante, om, sahabat, teman kantor, tetangga kiri kanan yang kudu dibawakan oleh-oleh. Membuat mereka seakan berpacu dengan waktu untuk memenuhi list  yang sudah disusun sebelumnya.

Salah satu pengalaman saya mengikuti tour ke Beijing, beberapa peserta tour samapai harus membeli koper baru karena koper yang dibawanya sudah tidak mampu lagi menampung banyaknya belanjaannya. Tidak cukup hanya membeli sebuah koper saja  bahkan ada yang harus sampai membeli dua buah koper.

Kebiasaan wisatawan asal Indonesia untuk memborong oleh-oleh dan sebagainya itulah yang dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku industri pariwisata di luar negeri dan dijadikan celah dengan menguasai bahasa Indonesia meskipun khusus hanya untuk transaksi jual beli yang sederhana saja. Hal tersebut tentu saja menjadi nilai tambah buat mereka yang memudahkan wisatawan kita untuk membeli/mendapatkan apa yang  dibutuhkannya.

Hal ini berbeda dengan wisatawan  asing (barat) yang mempunyai ikatan kekerabatan yamg lebih longgar dan tidak mempunyai budaya oleh-oleh. Biasanya mereka lebih cenderung menikmati obyek wisatanya daripada sibuk membeli pernak-pernik untuk oleh-oleh.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar