Itu
bukan kata saya lho ... tetapi kata supir taksi Cipaganti yang saya tumpangi
pada hari Jumat, 14 September 2012. Saat itu saya sedang menuju ke sebuah
instansi yang lokasinya berada di depan Taman Suropati, Jakarta.
Seperti
biasa, jalanan pagi hari di Jakarta selalu ramai, sibuk dan sudah tentu
macet. Pada saat terjebak kemacetan, tiba-tiba supir taksi mengarahkan mobilnya
memasuki jalur busway yang setahu saya tidak boleh dilalui oleh kenderaan lain,
khusus hanya untuk bus trans jakarta.
Karena
tahu ini melanggar aturan, sayapun bertanya, "Kenapa masuk jalur busway
pak, kan dilarang?"
"Gak
apa-apa bu, kalau pagi hari dan jalanan macet, boleh kok masuk jalur busway.
Batasnya pukul 9 pagi, kalau lewat jam segitu baru deh pak polisi
nilang"
"Lagian
kita juga gak sendirian, di depan juga sudah ada yang masuk, makanya saya
berani masuk juga bu." Tutur pak supir taksi.
"Gimana
kalau nanti di tangkap polisi pak, siapa tahu di depan pak polisi sudah
nungguin?" tanya saya lagi dengan nada suara yang mulai khawatir. Namun
pak supir ini sepertinya sangat menguasai medan dan jago ngeles, berikut ini
penjelasan lanjutan beliau.
"Biasanya
kalau pagi, pak polisi malas nilang bu, karena banyak mobil yang masuk jalur
busway, capek pak polisinya karena baru nilang yang depan biasanya mobil yang
dibelakangnya sudah pada keluar jalur, pembatasnya kan rendah bu, asal turunnya
pelan-pelan pasti aman. Lagian kalau di tilang kan yang depan dulu, kita kan
masih sempat keluar jalur."
Setelah
mendengar penjelasan pak supir, saya melihat ke belakang dan ternyata bus trans
jakarta tepat berada di belakang taksi yang saya tumpangi. Wah ....
Ternyata
benar penjelasan beliau, taksi kami bisa dengan leluasa melaju di jalur busway
dan selamat keluar jalur tanpa ada petugas yang menghentikannya. Akhirnya taksi
kembali ke jalur umum dan saya bisa sampai ke tujuan dengan selamat.
Hati
kecil saya protes dan gak setuju dengan tindakan beliau, buat saya aturan ya
tetap aturan yang harus di taati tanpa alasan apapun. Namun apa daya saya
karena mereka lah sang penguasa di Jakarta yang sudah tentu hapal benar dengan
ritme kota ini, saya kan hanya sekali-kali berkunjung.